Pemerintah melakukan perubahan signifikan dalam pembagian kuota haji. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025, yang merevisi UU Penyelenggaraan Haji dan Umrah, mengamanatkan sistem baru: kuota kini ditentukan oleh jumlah pendaftar atau waiting list secara nasional, bukan lagi berdasarkan jumlah penduduk Muslim di suatu daerah.
Kebijakan ini memicu reaksi beragam. Beberapa daerah berpotensi mendapat kuota lebih besar, sementara yang lain mungkin mengalami penurunan.
Menurut Dirjen Bina Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenhaj, Puji Raharjo, sistem lama menyebabkan ketidakadilan. Daerah dengan pendaftar sedikit tapi populasi Muslim besar mendapat jatah besar, sementara daerah dengan antrean panjang harus menunggu lebih lama.
"Fenomena ini tidak disebabkan oleh kesalahan teknis atau penghapusan hak, melainkan karena urutan nomor porsi mereka berada di bawah jemaah lain dalam provinsi yang sama yang mendaftar lebih dulu," jelas Puji (19/11/2025).
Dengan sistem baru, nomor porsi menjadi kunci utama keberangkatan. "Dengan demikian, tidak ada lagi jemaah yang ‘menyalip’ antrean dalam satu provinsi," tegas Puji.
Pemerintah meyakini sistem waiting list nasional akan menghapus ketimpangan. Seluruh calon jemaah di provinsi yang sama akan berada dalam satu antrean tunggal berdasarkan urutan pendaftaran nasional.
"Proses ini menjamin bahwa setiap jemaah diperlakukan secara proporsional, tanpa diskriminasi administratif antar kabupaten," lanjutnya.
Puji menambahkan, kebijakan ini telah dikaji secara teknokratis dan melalui diskusi dengan berbagai pihak. Ia menyadari kekecewaan jemaah yang antreannya jadi lebih panjang.
"Rasa kecewa di kalangan jemaah yang tertunda adalah hal yang manusiawi. Namun, secara faktual, tidak ada hak yang hilang. Jemaah yang tertunda keberangkatannya karena penyesuaian kuota akan tetap diberangkatkan pada musim haji berikutnya sesuai nomor porsinya, dengan urutan nomor porsi yang tetap terjaga," pungkas Puji.









