Jakarta – UN Women Indonesia mengungkapkan bahwa sekitar 1,8 miliar perempuan di seluruh dunia belum memiliki perlindungan hukum yang memadai terhadap kekerasan di ruang digital. Hal ini disampaikan oleh Head of Programmes UN Women Indonesia, Dwi Yuliawati, dalam press briefing tentang Kekerasan di Ruang Digital yang diadakan di Kantor PBB Indonesia, Jakarta, Kamis (20/11/2025).
Yuliawati menjelaskan bahwa kekerasan digital terhadap perempuan tidak hanya terbatas pada aspek seksual, tetapi juga merambah bidang ekonomi, sosial, hingga politik. Ia menekankan bahwa kekerasan digital merupakan perpanjangan dari kekerasan di dunia nyata, sebuah kelanjutan dari kekerasan offline yang kini diperluas melalui teknologi.
"Kita harus kembali memperkuat hukum, memperkuat movement, gerakan, karena serangannya sudah tidak lagi dari benda-benda yang kasat mata di depan kita, tetapi dari sesuatu yang sangat tidak terlihat," tegasnya.
Lebih lanjut, Yuliawati menyoroti berbagai fenomena seperti deepfake, doxing, catfishing untuk romance scam, hingga kampanye digital terselubung. Ia menilai fenomena-fenomena ini sering kali bertujuan untuk menjerumuskan perempuan agar semakin tradisional dan mudah dikendalikan, yang pada akhirnya, "makin banyak perempuan yang terbawa ke dalam gerakan tersebut."
Yuliawati juga menyinggung kesepakatan ASEAN untuk memperluas definisi tubuh perempuan, termasuk representasi virtual, yang dianggap penting dalam konteks kejahatan digital yang semakin canggih. "Jadi, kedaulatan atas tubuh perempuan tidak hanya tubuh dalam bentuk physical but also virtual. That is our apa namanya? Struggle tadi, merebut kembali kedaulatan," jelasnya.
Menyikapi maraknya kekerasan terhadap perempuan, UN Women mendorong keterlibatan aktif perempuan sebagai pembuat kebijakan dan pengembang teknologi. Tujuannya adalah agar perempuan memiliki kendali atas keamanan data dan privasi mereka sendiri.
"Kita upayakan supaya lebih banyak perempuan yang terlibat di dalam men-develop akal imitasinya sendiri. Mereka lebih melek terhadap Al sebagai not only user, tetapi juga developer. Ya, jadi perempuan sebagai learner dan juga sebagai developer dari akal imitasi tersebut," pungkasnya.









