Kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi salah satu permasalahan dari sekian banyak permasalahan-permasalahan pokok mengenai HAM yang terus coba untuk dihadapi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Dari sekian banyak bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak, salah satu hal yang paling banyak disoroti adalah perbuatan kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi terhadap perempuan dan anak merupakan salah satu bentuk perbuatan yang bertentangan dengan konsep dasar kemanusiaan yang ada.
Ditinjau dari tataran instrumen hukum, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi negara pada dasarnya telah mengatur secara jelas pemberian hak kesetaraan dan perlindungan bagi perempuan dalam ikatan perkawinan yang tercantum dalam Pasal 28G ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Upaya serius dalam penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan juga telah coba direspon pemerintah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) undang-undang ini mengatur empat bentuk kekerasan dalam rumah tangga, yakni kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga. Meski demikian, pengesahan instrumen hukum ini dirasa tidak cukup bila melihat fakta yang terjadi di masyarakat yang menunjukkan tingginya frekuensi tindak kekerasan dalam rumah tangga yang menempatkan perempuan dan anak sebagai korban didalamnya.
Walaupun sudah ada dasar hukum yang kuat, korban KDRT kerap tidak mendapatkan keadilan yang semestinya karena korban enggan melapor atau tidak mendapatkan dukungan dari lingkungan sekitar yang membicarakan kasus KDRT keluarga dianggap aib dan privasi bagi setiap masing-masing keluarga. Padahal, Pasal 2 UU PKDRT menegaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan kejahatan yang harus ditindak secara hukum. Hal ini menunjukkan masih adanya kesenjangan antara substansi hukum dengan implementasi di lapangan.
Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi masalah serius di Indonesia. Catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menunjukkan bahwa tahun 2024, telah terjadi total 28.789 kasus kekerasan. Dari total kasus tersebut, mayoritas korban adalah perempuan dengan 24.973 kasus. Sedangkan korban laki- laki berada di angka 3.816 kasus. Angka kasus kekerasan di Indonesia tahun 2024 terpantau meningkat cukup tinggi dibanding tahun 2023 dengan total 18.466 kasus. Lebih lanjut, Kemen PPPA menjelaskan bahwa KDRT menjadi jenis kasus kekerasan tertinggi dalam kelompok kasus jumlah korban berdasarkan tempat kejadian. Terdapat 19.045 kasus KDRT yang dilaporkan sepanjang tahun 2024. Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menyebutkan bahwa jumlah kasus perceraian karena faktor KDRT di Indonesia tahun 2023 mencapai 5.174 kasus.
Begitu banyaknya fenomena kekerasan dan tindak pidana terhadap anak menjadi suatu sorotan keras dari berbagai kalangan. Hal ini dianggap sebagai suatu indikator buruknya instrumen hukum dan perlindungan anak. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 20 tentang perlindungan anak, bahwa yang berkewajiban dan bertanggung- jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua.
Korban (victims) menurut Muladi adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing- masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan. Terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak ini hendaknya perlu dipahami begitu banyak faktor yang memicu terjadinya kekerasan pada anak ini, contohnya tidak adanya kontrol sosial pada pelaku kekerasan pada anak meskipun pelaku merupakan orang tua atau kerabat dekat sekalipun, hubungan antara anak dan orang tua dianggap sebagai suatu bidang hierarki dalam hal ini dimaksudkan ada batasan komunikasi karena anak dianggap makhluk kecil yang suaranya dianggap tidak penting untuk orang dewasa, hal terakhir adalah kemiskinan yang merupakan faktor dominan yang dianggap sebagai pusat masalah sehingga anak menjadi pelampiasan amarah, ketidakpuasan, luapan kesedihan karena kemiskinan tersebut sehingga kekerasan tertuju pada anak karena tidak dapat melakukan perlawanan.
Kewajiban dan tanggung jawab Negara dan Pemerintah dalam upaya perlindungan anak diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak pasal 21 s/d 24 yakni: 1) Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental; 2) Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak; 3) Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara umum bertanggung jawab terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak; 4) Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.
Upaya perlindungan terhadap anak telah dilakukan oleh pemerintah dengan mengeluarkan Undang-Undang (UU) No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak). Dalam Pasal 44 UU Perlindungan Anak disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak yang juga didukung oleh peran serta masyarakat. Upaya kesehatan yang komprehensif dimaksud meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, yang diselenggarakan dengan secara cuma-cuma bagi keluarga yang tidak mampu.
Selanjutnya, dalam Pasal 45 ditegaskan bahwa orangtua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam kandungan. Dalam hal orang tua dan keluarga yang tidak mampu melaksanakan tanggung jawabnya, pemerintah dan pemerintah daerah wajib memenuhinya. Pertumbuhan fisik dan perkembangan mental anak sudah seharusnya menjadi perhatian khusus keluarga sebagai lingkungan sosial pertama yang dikenal oleh anak. Dengan adanya Pasal 45 tersebut, tidak hanya keluarga yang bertanggung jawab terhadap anak, tetapi juga pemerintah dan pemerintah daerah.
Perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan hal yang sangat penting, karena KDRT termasuk pelanggaran hak asasi manusia dan bentuk diskriminasi terhadap martabat kemanusiaan. Kehadiran UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) menjadi bukti nyata upaya negara dalam memberikan perlindungan hukum bagi korban. Namun, dua dekade setelah disahkannya, kasus KDRT justru terus meningkat, menandakan masih lemahnya implementasi hukum di lapangan. Berikut upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
- Peningkatan edukasi dan kampanye anti-KDRT secara menyeluruh hingga ke tingkat desa. Hal ini penting untuk menghapus stigma sosial yang membuat korban enggan melapor. Edukasi publik dapat difokuskan pada pemahaman mengenai definisi, bentuk, dan konsekuensi hukum KDRT, serta mempermudah akses pelaporan sebagaimana diamanatkan Pasal 12 UU PKDRT.
- Perlindungan ekonomi bagi korban melalui restitusi atau ganti rugi dari pelaku. Saat ini, mekanisme restitusi belum diatur secara eksplisit dalam UU PKDRT, sehingga diperlukan revisi agar selaras dengan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, PP No. 44 Tahun 2008, dan PP No. 43 Tahun 2017.
- Perintah perlindungan bagi korban perlu dioptimalkan. Pasal 10 dan 16 UU PKDRT sudah mengatur larangan pelaku mendekati korban serta kewajiban pengawasan aparat, namun minimnya aturan turunan membuat implementasi di lapangan belum efektif.
- Peningkatan kapasitas dan keseragaman pemahaman aparat penegak hukum (APH) dalam menangani kasus KDRT agar tidak terjadi perbedaan penafsiran dan keterlambatan proses hukum.
- Pemulihan korban harus diperkuat sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU PKDRT, dengan memperhatikan sinergi bersama UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Revisi perlu menekankan pentingnya rehabilitasi, layanan psikologis, serta kerja sama dengan lembaga seperti LPSK untuk menjamin pemulihan menyeluruh bagi korban.
- Penguatan sanksi tambahan berupa konseling bagi pelaku, sebagaimana diatur dalam Pasal 50 huruf b UU PKDRT. Pemerintah perlu memastikan adanya anggaran dan lembaga pelaksana yang jelas agar sanksi ini berjalan efektif sebagai bagian dari upaya rehabilitasi sosial dan pencegahan kekerasan berulang.
Perlindungan hukum bagi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah hal penting untuk menegakkan hak asasi manusia dan keadilan sosial. Meskipun Indonesia memiliki undang-undang yang mendukung, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, angka kekerasan dalam rumah tangga masih tinggi. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat 28.789 kasus kekerasan, dengan mayoritas korban perempuan.
Kesenjangan antara hukum dan pelaksanaannya menjadi masalah utama. Banyak korban tidak mendapatkan perlindungan yang optimal karena faktor sosial dan budaya, serta lemahnya koordinasi antar penegak hukum. Negara harus menjamin perlindungan dan pemulihan korban. Untuk mencapai keadilan, perlindungan harus diperkuat melalui edukasi publik, penghapusan stigma, dan peningkatan kapasitas penegak hukum. Sinergi antara pemerintah, lembaga sosial, dan masyarakat penting dalam membangun sistem perlindungan hukum yang bagi korban. Upaya ini harus mencakup preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Contact Person
Yohana Elga Tamba (081331367907)
Jovita Gianina Tarigan (081265149594)
Description
Tugas Klinik Perlindungan Perempuan dan Anak
Mahasiswa Fakultas Hukum USU: Yohana Elga Tamba & Jovita Gianina Tarigan
Dosen Pengampu: Dr. Rosmalinda, S.H., LLM & Dr. Fajar Khaify Rizky, S.H., M.H.
Tinggalkan komentar
Anda harus masuk untuk berkomentar.