Pengusaha Alas Kaki Jerit: Sepatu Impor China Banjiri Pasar, Diduga Praktik Dumping Merajalela

Publikasi Media

November 14, 2025

3
Min Read

Jakarta – Gelombang sepatu impor, terutama dari China, menghantam industri alas kaki lokal. Ketua Himpunan Pengusaha Alas Kaki Nusantara (HIPAN), David Chalik, mengungkapkan kekhawatiran mendalam mengenai praktik dumping yang diduga dilakukan oleh produsen sepatu asal Tiongkok. Akibatnya, produk dalam negeri semakin kesulitan bersaing di pasar.

"Dijual harga Rp 75.000. Saya pernah coba bikin balik, saya beli sepatu di e-commerce. Saya bikin balik di Alibaba, saya sebut nggak apa-apa ya, ternyata mereka nggak bisa bikin (produk) harga Rp 75 ribu per pairs," ujar David dalam rapat dengan Komisi VII DPR.

David menduga, harga jual sepatu China yang sangat murah, sekitar Rp 75.000 per pasang, tidak masuk akal. Ia bahkan telah mencoba memesan produksi ulang sepatu serupa melalui platform Alibaba, namun ditolak karena harga tersebut tidak dapat menutupi biaya produksi.

"Saya naikin kuantitasnya jadi 10.000, 20.000, harga bahkan masih nggak ketemu di Rp 75 ribu. Artinya kalau mereka sudah sampai di Indonesia, mereka kan sudah ada ongkos kirim, sudah ada modal kerja dan profit, mereka masih bisa jual di Rp 75 ribu, itu saya nggak masuk di akal, gimana caranya? Sedangkan mereka sendiri kita (minta) bikin balik, nggak bisa. Jadi indikasinya dumping ini cukup kuat," tegasnya.

Menurut David, dengan standar produksi yang memadai, harga ideal sepatu seharusnya berada di kisaran Rp 150.000 hingga Rp 200.000. Harga di bawah itu, menurutnya, mengindikasikan praktik dumping. Ia juga mencurigai adanya upaya sistematis untuk merusak pasar Indonesia, di mana produsen menjual produk lebih murah di Indonesia daripada di negara asalnya.

"Dumpingnya ya harga jual mereka itu lebih murah daripada mereka jual di pasar mereka sendiri, untuk menyerang pasar kita, untuk merusak pasar kita. Ini sebenarnya sudah dialami di industri gorden," ungkapnya.

David mencontohkan bagaimana produsen luar negeri tak segan melakukan praktik bakar uang untuk mematikan industri lokal, sebelum akhirnya menaikkan harga secara perlahan. Selain itu, ia juga menyoroti dampak negatif sepatu impor terhadap harga dan margin produk dalam negeri, serta maraknya impor ilegal melalui berbagai jalur, termasuk thrifting.

Lebih lanjut, David mengeluhkan sulitnya mendapatkan komponen pendukung sepatu yang tidak diproduksi di dalam negeri. Ia mencontohkan kasus impor lay system untuk sepatu yang terhambat karena tergolong sebagai kawat baja dan terkena kebijakan larangan terbatas (lartas).

"Misalnya sepatu saja kami punya 30 komponen, ini kejadian kemarin hal simpel sekali. Kita tahu ada sepatu sekarang modelnya pakai putran, Pak. Ya, dia pakai putran. Namanya lay system. Jadi saya masukkan lay system itu ke Indonesia nggak bisa, kena lartas karena ada kawatnya, Pak. Dia bilang itu masuk HS Code-nya kawat baja. Jadi kami nggak bisa masuk," pungkasnya.

Tinggalkan komentar

Related Post