Jakarta – Menteri Agama Nasaruddin Umar menekankan pentingnya penafsiran Al-Qur’an yang relevan dengan budaya dan konteks keIndonesiaan. Hal ini disampaikannya saat membuka Ijtimak Ulama Tafsir Al-Qur’an di Jakarta, Kamis (20/11/2025).
Nasaruddin menjelaskan bahwa di era modern, kebenaran seringkali terdistorsi oleh kekuatan media dan politik. Oleh karena itu, ia mendorong integrasi antara pendekatan induktif (Iqra’) dan deduktif (bismi rabbik) dalam memahami Al-Qur’an.
"Al-Qur’an dimulai dengan Iqra’ bismi rabbik. Iqra’ itu induktif, bismi rabbik itu deduktif. Keduanya harus dipadukan," ujarnya.
Menag juga menekankan perlunya kolaborasi antara rasio dan rasa dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Menurutnya, perpaduan keduanya akan menghasilkan tafsir yang membumi dan menyentuh dimensi batin manusia.
"Perkawinan rasio dan rasa itulah yang akan melahirkan tafsir yang membumi dan menyentuh dimensi batin manusia," terangnya.
Lebih lanjut, Nasaruddin menginginkan agar tafsir yang dihasilkan menjadi "tafsir negara" dan "tafsir Indonesia" yang memasukkan unsur antropologi, budaya, dan konteks keIndonesiaan. Ia menegaskan bahwa setiap bangsa memiliki hak budaya dalam memahami Al-Qur’an.
"Setiap bangsa memiliki culture right dalam memahami Al-Qur’an dan itu diakui dalam tradisi tafsir. Karena itu, kita perlu memasukkan perspektif budaya dan sosiologi dalam penyusunan tafsir," ucap Nasaruddin.
Sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin berharap Ijtimak Ulama Tafsir dapat menghasilkan pandangan yang mencerahkan dan kritik konstruktif, sehingga tafsir yang dihasilkan mencerminkan wajah Islam yang penuh kasih. Forum ini diharapkan menjadi wadah strategis bagi ulama, akademisi, dan pemerhati tafsir untuk menyempurnakan dan menguji publik tiga juz tafsir Al-Qur’an yang telah diselesaikan oleh Kementerian Agama.









