Pada tanggal 23 Juni 2025, mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial Program Studi Administrasi Publik berkesempatan mengikuti kegiatan praktikum kuliah lapangan di Gedung Walikota Surabaya. Praktikum ini merupakan bagian dari pembelajaran luar kelas yang bertujuan memberikan pemahaman langsung kepada mahasiswa mengenai praktik politik pemerintahan di tingkat lokal. Secara khusus, kegiatan ini membahas logika yang digunakan dalam pembentukan koalisi dan oposisi partai politik terhadap sistem pemerintahan.
Sebelum pelaksanaan, kelompok kami melakukan berbagai persiapan seperti mempelajari materi dasar tentang sistem politik, menyusun pertanyaan kritis, serta mengikuti arahan dosen pengampu terkait etika di lingkungan pemerintahan. Kegiatan dimulai pukul 14.00 WIB dengan sambutan dari dosen pendamping dan Wakil Walikota Surabaya, Ir. Armuji atau yang akrab disapa Cak Ji.
Dalam materi yang disampaikan, Cak Ji menjelaskan secara mendalam mengenai proses partai politik menentukan posisi politiknya, baik sebagai bagian dari koalisi pemerintah maupun sebagai oposisi. Ia menegaskan bahwa keputusan politik tidak hanya didasarkan pada kepentingan kekuasaan semata, tetapi juga mempertimbangkan aspirasi rakyat, kondisi sosial politik, hingga kalkulasi jangka panjang terhadap stabilitas pemerintahan. Penjelasan tersebut diperkuat dengan contoh-contoh nyata dari pengalaman politiknya di Kota Surabaya.
Sesi diskusi berlangsung interaktif dan kritis. Mahasiswa berkesempatan berdialog langsung dengan Cak Ji, membahas peran oposisi dalam menjaga keseimbangan kekuasaan, serta bagaimana koalisi dibangun bukan sekadar berdasarkan kekuatan suara, melainkan juga kesamaan visi dan misi. Kegiatan ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya berpikir logis, strategis, dan kritis dalam dunia politik.
Dari hasil pengamatan, Pemilihan Wali Kota Surabaya dalam beberapa periode terakhir menunjukkan ketiadaan oposisi yang signifikan. Dominasi PDI Perjuangan tanpa kehadiran lawan politik yang kuat menimbulkan kekhawatiran terhadap kualitas demokrasi lokal. Demokrasi sejatinya bukan hanya prosedural melalui pelaksanaan pemilu, tetapi juga substantif dengan adanya persaingan gagasan, program, serta mekanisme pengawasan terhadap pemerintah.
Ketidakhadiran oposisi dalam pemilu mengakibatkan minimnya kontrol terhadap kekuasaan serta berpotensi memunculkan praktik pemerintahan yang tidak kritis dan kurang responsif terhadap aspirasi rakyat. Partai politik lain pun cenderung pragmatis, lebih memilih bergabung ke dalam kekuasaan demi kepentingan politik jangka pendek, daripada tampil sebagai kekuatan alternatif.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa sistem politik lokal di Indonesia pasca reformasi masih menghadapi tantangan dalam memperkuat peran oposisi. Lemahnya persaingan politik, minimnya regenerasi kepemimpinan, serta keberanian partai untuk mengusung calon alternatif menjadi masalah yang harus segera diatasi.
Oposisi memiliki peran penting dalam sistem demokrasi kontemporer, meskipun tidak diatur secara formal dalam sistem presidensial. Kehadirannya dibutuhkan untuk mengontrol jalannya pemerintahan, menyampaikan alternatif kebijakan, serta menjaga keseimbangan kekuasaan. Oleh karena itu, perlu ada upaya serius untuk membangun iklim politik yang sehat dan kompetitif, dengan memperkuat kapasitas partai politik non-pemerintah, melindungi hak oposisi, serta mendorong partisipasi politik masyarakat secara luas.
Dengan demikian, untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan lokal yang adil, demokratis, dan akuntabel, seluruh komponen demokrasi — mulai dari lembaga negara, partai politik, hingga masyarakat sipil — harus bersinergi dalam menciptakan oposisi yang kuat, efektif, dan berkualitas.
Tinggalkan komentar
Anda harus masuk untuk berkomentar.