Jakarta – Banjir impor baja, terutama dari China, terus menghantui industri baja nasional. Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza mengungkapkan, kesenjangan besar antara kebutuhan dan produksi baja dalam negeri menjadi penyebab utama kondisi ini.
China, sebagai produsen baja terbesar dunia dengan 53,3% produksi global (1,005 miliar ton), menjadi sumber utama impor baja ke Indonesia. "Gap ini diisi oleh produk impor sekitar 55% kebutuhan nasional dan mayoritas dari China. Sementara utilisasinya industri baja kita sebesar 50% kurang lebih, sehingga industri baja nasional yang idle karena produknya tidak terserap pasar juga cukup banyak," ujar Faisol dalam RDP dengan Komisi VI DPR RI, Senin (10/11/2025).
Selain itu, industri baja dalam negeri selama ini terlalu fokus pada sektor konstruksi dan infrastruktur. Padahal, permintaan dari sektor ini sedang lesu, baik di dalam negeri maupun global. "Pada dasarnya di seluruh dunia ini kan properti sebagai salah satu off taker dari industri baja kan betul-betul turun. Memang masalah baja bukan hanya masalah kita tapi di seluruh dunia sedang turun," jelas Faisol.
Padahal, sektor lain seperti otomotif, perkapalan, dan alat berat menawarkan potensi besar. Sektor-sektor ini membutuhkan baja dengan spesifikasi khusus seperti alloy steel atau special steel.
Tantangan lain adalah teknologi produksi yang usang. "Sebagian besar produsen masih menghadapi tantangan dalam hal teknologi dan modernisasi peralatan produksi di mana sebagian besar mesin dan teknologi yang digunakan sudah berumur tua dan belum sepenuhnya ramah lingkungan. Kondisi ini mempengaruhi kualitas dan biaya produksi sehingga menjadi hambatan dalam upaya menuju industri baja yang punya daya saing, berkelanjutan, dan berstandar global," terangnya.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah membuka pintu investasi bagi investor asing. Faisol menyebutkan minat dari negara-negara Eropa, China, dan Vietnam untuk membangun pabrik baja di Indonesia. "Kami minta supaya mereka berinvestasi di Indonesia, bangun pabrik di Indonesia, sehingga mereka juga punya akses ke pasar domestik, sebagaimana industri-industri atau pabrik-pabrik lain yang selama ini menjadi pemain atau pelaku usaha di pasar domestik. Ada beberapa negara (berminat) dari Eropa, dari China, dari Vietnam, yang mau merelokasi pabriknya," ungkapnya.
Faisol menambahkan, 55% kebutuhan baja dalam negeri dipenuhi dari impor, dengan mayoritas berasal dari China. Sementara utilitas baja dalam negeri hanya 52%. "Nah investasi tentu solusi buat industri baja, agar tidak hanya memenuhi kebutuhan dalam negeri yang memang besar, yang selama ini sebagian itu impor, kira-kira 11 juta ton impor, bisa dipenuhi lebih baik kalau mereka berinvestasi di dalam negeri," pungkasnya.








Tinggalkan komentar
Anda harus masuk untuk berkomentar.